Trail Run termasuk hal baru buat saya. Setelah menjajal Tahura Trail Run di awal tahun 2017, kali ini saya kembali mencoba mengikuti Mesastila Peaks Challenge 2017. Salah satu ajang trail run yang keren, karena race ini memiliki kualifikasi UTMB. Pelari di kategori 42K, 65K dan 100K akan mendapatkan poin untuk memenuhi syarat mengikuti ajang Ultra-Trail du Mont-Blanc. Bahkan di tahun 2017 ini, kategori 21K juga kebagian poin UTMB.
Setelah kurang lebih 3 tahun menjadi penggemar lari, kadang saya juga mengalami titik jenuh. Mengikuti trail run ini seperti penyegaran, mencoba tantangan baru dan tentu saja track lari yang tidak bisa dijumpai di Jakarta. Mesastila Peaks Challenge berlangsung 7-8 Oktober bertempat di MesaStila Resorts & Spa , Magelang, Jawa Tengah. Ada lima jarak tempuh yang ditawarkan di race ini, mulai dari 11k, 21k, 42k, 65k, hingga 100 kilometer. Kali ini saya mengambil kategori 42K.
Karena berbagai kesibukan dan rasa malas yang melanda, sehingga tidak ada persiapan khusus yang saya lakukan untuk menghadapi race ini. Sampai akhirnya minggu race tiba saya jadi deg-deg seer sendiri. Bersama satu teman saya yang mengambil kategori 65K, dari Jakarta kami berangkat naik kereta ke Semarang, lalu dilanjutkan bermotor ke Mesastila.
Hari Jumat kami sudah sampai di Mesastila dan langsung menuju ke tempat pengambilan racepack. Saat pengambilan racepack semua peralatan mandatory untuk pelari kategori 42K, 65K dan 100K di cek oleh panitia. Pengambilan racepack sangat rapi, dihari kedua pengambilan racepack juga ada technical meeting untuk memberikan gambaran bagi pelari, seperti apa race ini nantinya. Kebetulan saat saya mengambil racepack berbarengan dengan beberapa pelari yang sudah tidak asing lagi di dunia trailrun. Jujur saya makin ketar ketir, mengingat persiapan saya yang sangat kurang. Target awal saya untuk memperbaiki waktu di Tahura saya lupakan, yang penting finish under COT !
Start kategori 42K dimulai jam 5 pagi, rute awal race ini memasuki kebun kopi dan sawah di kawasan Mesastila. Saya sempat beberapa kali nyasar karna mengikuti pelari yang ada di depan. Saat itu memang masih gelap dan di beberapa titik, marka jalan yang berupa pita reflektif dan serpihan kertas letaknya kurang strategis sehingga agak susah terlihat. Setelah hari mulai terang, saya baru mulai memisahkan diri dari rombongan pelari yang dari awal saya ikuti karna saya takut kesasar sendirian 🙂
Rute sebelum WS1 tergolong masih ringan, saya masih optimis bisa melewati COT di WS2 yang mengharuskan pelari sampai sebelum jam 12 siang. Sesuai waktu yang saya perkirakan, akhirnya saya sampai di WS1. Di WS ini saya mengisi persediaan air dan tak lupa makan ubi rebus untuk mengembalikan tenaga. Saya tidak menghabiskan waktu terlalu lama di WS1 , karna mengingat COT yang berlaku di WS2.
Benar saja , rute setelah WS1 menuju ke WS2 ini merupakan rute paling berat asyiiik. Rute menanjak tanpa ampun sepanjang 5KM menuju puncak Andong sangat menguras tenaga dan semangat. Saya menghabiskan waktu lebih lama di 5KM ini ketimbang 15KM diawal race. Melihat tanjakan yang gak ada habis-habisnya dan waktu yang sudah mulai mepet, terpikir dibenak saya untuk COT saja. Hahaha…
Terdengar lemah memang, tapi ya begitulah keadaan. Akhirnya setelah semangat saya berdarah-darah, tibalah saya di CP1 puncak Andong. Tapi masih sekitar 3KM lagi untuk sampai ke WS2 dan rutenya saya gak tau gimana. Sempat saya liat beberapa pelari mampir nyeruput mie rebus di warung yang ada di puncak Andong.
Sepertinya nikmat banget, tapi begitu lihat jam dan sadar kalau waktunya makin mepet saya mengurungkan niat itu, lagian saya juga baru ingat kalau gak bawa duit , hehe..
Untuk mengejar waktu yang terbuang banyak saat nanjak Andong tadi, saya berusaha ngebut. Untungnya rute berikutnya adalah turunan, dan beberapa tanjakan yang enteng. Terlihat enteng lebih tepatnya, karna yang jauh lebih seram sudah saya lewati di belakang 🙂
Di perjalanan menuju WS2, saya bertemu beberapa pelari yang berasal dari luar Indonesia yang hobinya nyasar melulu walau tanda jalan sudah cukup jelas. Untungnya saya masih ngerti istilah ‘wrong way‘ ,’turn around‘ dan ‘no smoking‘. Jadi saya bisa teriakin mereka kalau nyasar, dan nolak kalau ditawarin rokok, haha… 🙂
Sekitar jam 11 kurang saya sampai di titik aman pertama : WS 2. Makanan dan minuman yang tersedia cukup lengkap. Beberapa potongan nanas dingin langsung saya comot, terus nyedu pop mie dan nyeruput cola dingin. Semangat yang tadi berdarah-darah langsung balik lagi. Yang paling menyenangkan , info dari panitia yang bilang rutenya gak bakal seberat Andong tadi. Saya kembali optimis bisa finish under COT, ya walaupun masih setengah jalan lagi.
Matahari mulai menyengat, rute berikutnya mulai melalui jalan desa dan jalan aspal yang rusak menuju Telomoyo dan Gilituri. Ada cerita tersendiri dibagian ini, terutama ketika berpapasan dengan warga sekitar. Sebagai orang yang ‘numpang’ lari di tempatnya mereka, saya berusaha tetap ramah dan tersenyum saat berpapasan dengan warga sekitar, tapi ya sambil menahan panas dan cenat cenut di kaki mungkin senyum saya keliatannya jadi gak iklas.
Pemandangan alam di beberapa rute menuju Telomoyo dan Gilituri juga cukup indah, tampak pedesaan dan sawah dari ketinggian, cukup menghibur badan yang sudah sangat lelah. Di kilometer-kilometer terakhir, ternyata pelari masih diputar-putarkan lagi melewati sawah dan kebun kopi sebelum akhirnya keluar di jalan aspal dan terlihat bapak security Mesastila, yang menjadi tanda berakhirnya perjuangan. Saya gak pernah sebahagia ini melihat bapak security, dan lebih bahagia ketika tahu kalau saya finish sekitar hampir 2 jam sebelum COT. Fyuuhh..
Secara keseluruhan race ini menyajikan tantangan yang patut untuk dicoba. Memang persiapan fisik dan mental yang cukup sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan race ini. Persediaan air dan makanan pribadi juga penting diperhatikan oleh tiap pelari. Treking pole sepertinya sangat membantu di rute menanjak maupun turunan, namun saya pribadi memang kurang lihai memakai treking pole, makanya lebih memilih untuk tidak membawa treking pole.
Ternyata yang namanya trail run dan nanjak gunung itu sama, sakit tapi bikin nagih. Mudah-mudahan saya diberi kesempatan untuk menjajal race trail run yang lain. Syukur-syukur bisa nyobain ultra marathon yang masuk to-do-list saya yang gak kesampaian di tahun ini.
kegiatannya sangat bagus sekali
kegiatan yang sangat positif.
keren..inspiring..mungkin next nya bisa bikin vlog kaya ginger runner
Ide bagus sih, haha..
tapi sayangnya kalo lagi lari saya biasanya ga kepikiran pegang2 kamera buat foto, apalagi bikin vlog 😀
Btw terimakasih sudah mampir